Maros, 17 November 2024 Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Sulawesi Selatan menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Delineasi Situs Prasejarah Kawasan Karst Maros-Pangkep dan Pendukungan World Heritage” di Ballroom Warkop Al Fayyadh, Kabupaten Maros. FGD ini bertujuan untuk membahas langkah-langkah delineasi dan perlindungan situs prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep, sekaligus mendukung pengusulan kawasan ini menjadi Warisan Dunia UNESCO. Fokus utama diskusi meliputi perlindungan situs di subkawasan Lopi-Lopi, Leang-Leang, dan Karampuang.
Dalam sambutannya, Kepala BPK Wilayah XIX Sulawesi Selatan, Andriany, S.S., M.Si. menegaskan pentingnya kegiatan ini sebagai langkah awal membangun sinergi antar pemangku kepentingan. “Diskusi ini bertujuan untuk menjaring masukan dan saran yang dapat memperkuat upaya perlindungan kawasan. Kami berharap berbagai pihak dapat berkolaborasi dalam merancang strategi perlindungan yang efektif dan berkelanjutan,” ujarnya.
FGD ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kepala BBKSDA Sulawesi Selatan, Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), ATR/BPN, akademisi dari Universitas Hasanuddin, serta perwakilan masyarakat setempat, seperti kepala dusun dan ketua RT dari kawasan Lopi-Lopi, Kaluku, dan Bonto Sunggu. Turut hadir organisasi pelestari seperti Bumi Toala, BRIN, serta komunitas pengelola cagar budaya.
Rustan, M.Hum., dari Museum dan Cagar Budaya (MCB) memberikan penekanan khusus pada pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses penetapan dan perlindungan kawasan ini. Menurutnya, masyarakat setempat merupakan bagian integral dalam menjaga keberlanjutan kawasan. “Melibatkan masyarakat dalam proses delineasi dan pengelolaan kawasan sangat penting. Mereka adalah garda terdepan dalam melestarikan situs budaya ini,” katanya.
Pandangan serupa diungkapkan oleh Dr. M. Nur dari Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin, yang mendorong penggunaan metode partisipatif dalam proses delineasi. “Melibatkan masyarakat tidak hanya memperkuat pelestarian, tetapi juga memastikan bahwa perlindungan kawasan ini sejalan dengan kebutuhan dan harapan mereka,” tambahnya.
Diskusi dipandu oleh Drs. Iwan Sumantri dan menghadirkan sejumlah narasumber yang memaparkan berbagai aspek delineasi kawasan, mulai dari teknis zonasi hingga pentingnya kolaborasi lintas sektor.
Ir. Jusman, Kepala BBKSDA Sulawesi Selatan, memaparkan pentingnya zonasi sebagai langkah awal dalam perlindungan kawasan. Ia menjelaskan bahwa zonasi yang mencakup zona inti, penyangga, dan pengembangan adalah kunci untuk pengelolaan yang efektif. “Zonasi bukan hanya membagi ruang, tetapi memastikan bahwa setiap area memiliki fungsi dan nilai yang terintegrasi,” ujarnya. Ia juga menyoroti perlunya sinergi antar lembaga dan mencontohkan pengelolaan kawasan Jeju di Korea Selatan, yang telah meraih tiga pengakuan UNESCO berkat pendekatan zonasi yang terintegrasi.
Dr. Yadi Mulyadi, dosen arkeologi dari Universitas Hasanuddin, menekankan bahwa delineasi kawasan cagar budaya tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga nilai arkeologis, sejarah, dan sosial budaya. Ia memaparkan langkah-langkah teknis dalam delineasi, termasuk identifikasi zona inti yang mencakup situs-situs utama, penentuan zona penyangga untuk melindungi nilai situs, serta zona pengembangan untuk mendukung aktivitas masyarakat lokal tanpa merusak situs.
General Manager UNESCO Global Geopark Maros-Pangkep, Dedi Irfan,S.T., menambahkan bahwa kawasan karst Maros-Pangkep telah memiliki modal kuat berupa status Cagar Biosfer dan Global Geopark UNESCO. Ia menyebutkan bahwa pengusulan kawasan ini menjadi Warisan Dunia adalah langkah logis berikutnya, asalkan melibatkan kolaborasi lintas sektor. “Status Warisan Dunia tidak hanya membawa pengakuan internasional, tetapi juga peluang pengembangan yang lebih luas untuk kawasan dan masyarakat setempat,” jelasnya.
Nuraisyah, S.Hut,. dari Balai TN Babul menyampaikan bahwa beberapa situs prasejarah yang berada dalam kawasan taman nasional memiliki potensi besar untuk dikelola secara terpadu. “Kolaborasi antara pengelola taman nasional, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal akan meningkatkan efektivitas perlindungan kawasan ini,” ujarnya.
FGD ini menghasilkan sejumlah poin penting, termasuk perlunya melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses delineasi dan pengelolaan kawasan. Pendekatan partisipatif dianggap sebagai cara terbaik untuk memastikan bahwa perlindungan kawasan ini dapat diterima dan didukung oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal.
Selain itu, peserta FGD sepakat bahwa sinergi antar lembaga adalah kunci untuk mencapai pengakuan UNESCO. Zonasi yang baik, kolaborasi lintas sektor, serta penguatan kapasitas pengelola kawasan menjadi prioritas utama dalam rencana tindak lanjut.
Dengan langkah-langkah yang telah dirancang melalui FGD ini, kawasan karst Maros-Pangkep diharapkan dapat meraih pengakuan sebagai Warisan Dunia UNESCO. Tidak hanya itu, upaya ini juga diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian warisan budaya dan alam, sekaligus membawa manfaat ekonomi dan sosial bagi komunitas lokal.
FGD ini menegaskan komitmen bersama para pihak untuk melindungi kawasan karst Maros-Pangkep sebagai bagian dari warisan budaya dan alam yang berharga, baik untuk generasi sekarang maupun masa depan