Menghadirkan Warisan Budaya Prasejarah Lewat Teknologi VR

Maros, Sulawesi Selatan – Lokasinya tak jauh dari Taman Wisata Alam Bantimurung. Di sana, ada sebuah sebuah warisan yang tak ternilai. Mengguncang dunia penelitian. Sebab temuan yang cukup untuk membuat siapa saja terkesima.

Tempat itu adalah gugusan karst yang menjadi rumah bagi manusia yang hidup ribuan tahun lalu, dan menyimpan jejak peradaban prasejarah. Leang Karampuang dan Leang Jari’e. Kedua karst itu, terdapat temuan dengan keunikannya tersendiri.

Di Leang Karampuang terdapat lukisan tertua di dunia, berusia 51.200 tahun yang lalu (tyl). Sedangkan di Leang Jari’e telah ditemukan rangka manusia yang diperkirakan berusia 2.700 tyl.

Gugusan karst itu terletak di Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.

Karena penemuan itu, Bumi Toala Indonesia, organisasi yang mempunyai misi dalam pelestarian warisan budaya dan alam, mengambil peran melakukan pendokumentasian melalui teknologi Virtual Reality (VR).

Kegiatan tersebut didukung melalui kemitraan dengan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX.

Direktur Bumi Toala Indonesia, Fardi Ali menyebut kegiatan ini bukan sekadar tentang teknologi VR. Ini tentang menjembatani masa lalu dan masa kini, dan memberikan kesempatan bagi siapa saja, di mana saja, untuk merasakan keajaiban gua-gua prasejarah.

“Teknologi VR tidak hanya melestarikan situs dari potensi kerusakan akibat kunjungan fisik, tetapi juga memperluas akses masyarakat untuk menikmati warisan budaya kita,” ujar Fardi Ali, Direktur Toala Indonesia.

Senada dengan Fardi, komentar juga dilontarkan Kepala BPK Wil. XIX, Andriany menyebut teknologi VR dapat melindungi situs budaya yang telah ditetapkan dan dapat membuka lebih banyak pintu untuk setiap orang mempelajari gua tanpa datang langsung.

“Dengan Virtual Reality, kita dapat menjaga situs budaya kita tetap terlindungi sambil membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk mempelajarinya. Leang Karampuang dan lukisan-lukisannya adalah harta yang sangat berharga, dan melalui teknologi ini, kita dapat memperkenalkannya kepada dunia tanpa mengorbankan pelestarian situs itu sendiri.” Ujar Andriany, saat ditemui di kantor BPK Wil. XIX.

Kegiatan ini juga melihat potensi untuk menjangkau generasi muda. Manajer Program Bumi Toala Indonesia, M Rizaldi menyebut bahwa potensi orang muda dengan mudah dijangkau dengan menghubungkan teknologi dan warisan budaya prasejarah.

“Dengan memanfaatkan VR, kita mampu menjangkau audiens yang lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri. Teknologi ini menjadi alat yang efektif untuk mempromosikan warisan budaya, sekaligus menginspirasi generasi muda untuk lebih mengenal prasejarah Indonesia.”

Kegiatan ini direncanakan selesai tahun ini, menghadirkan dua platform VR interaktif yang memungkinkan pengguna menjelajahi gua-gua secara virtual. Teknologi AI akan digunakan untuk memproses foto-foto lukisan gua, sehingga detail yang tak terlihat mata telanjang dapat dinikmati oleh semua orang.

Koordinator kegiatan, Ratno menekankan pentingnya sinergi antara teknologi dan pelestarian budaya.

“Proyek ini adalah kolaborasi lintas disiplin, bukan hanya soal teknologi canggih, tetapi juga tentang melibatkan masyarakat dan institusi lokal untuk bersama-sama melestarikan warisan budaya kita.”

“Virtual Reality adalah cara kita untuk memberikan akses lebih luas ke situs prasejarah tanpa merusak lingkungan alaminya. Lanjut Ratno.”

Masa Depan Pelestarian Budaya

Toala Indonesia  dan BPK Wil. XIX berharap kegiatan ini akan menjadi penting dalam pelestarian budaya, menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, menjaga warisan leluhur tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang.

Anggi, Ketua Unit Tim Kerja Dokumentasi dan Pelayanan Publik BPK Wil. XIX, optimistis mengenai hal itu.

“Melalui teknologi ini, kita dapat memperkenalkan situs prasejarah Maros kepada audiens global. Ini adalah cara yang efektif untuk meningkatkan minat wisatawan tanpa membebani situs dengan terlalu banyak kunjungan fisik.”

Berita & Artikel Lainnya